Teringat sore itu, di kala hujan tak kunjung hilang dari kaca jendela kamarku. Tak sengaja ku jumpai kau di lini masa. Kau lagi. Kau yang masih terngiang di hati. Begitu sulit melepaskan saat situasi begitu tepat untuk mengenangkan. Kamu yang belum sempat aku miliki namun sudah pergi saat rasa mulai bersemi.
Dengan tulisan sederhana. Kau mengindahkan hasil potretanmu yang kau tandai namanya. Hatiku sudah kebal terkait nama yang terus kau sebutkan. Yang terus kau banggakan. Dan yang terus kau pantaskan. Di banding aku yang sendiri dalam harapan. Belum ada kesempatan mengungkapkan, tapi gerak gerikmu memberi isyarat kita belum bisa bersama dalam waktu dekat.
Ketika kau perlahan menghilang dan tak lagi ku jumpai dalam bayang. Kadang semesta suka tertawa melihat aku yang sendiri melamun di sudut ruang. Melihat bodohnya manusia yang berharap pada manusia lainnya. Melihat mata dan hati yang berdiskusi tentang lamanya menanti.
Ku jumpai kau di kotak persegi. Berisi kata yang kau suka. Bertanda nama tentang kakasihnya. Mataku suka melihatmu dengan istimewa, hatiku tersayat saat aku klik gambarmu dan keluar namanya. Namun mau bagaimana lagi, mata lebih terayu untuk tinggalkan saja. Tapi di hati berkata untuk tetap bertahan menantinya.
Hujan sudah mereda. Bayanganku tentangmu masih saja ada. Aku sudah menenangkan tapi hati terus menggalaukan. Apa mungkin ini berarti aku benar mencintainya? Cinta yang tak tau diri kapan harus merekah. Cinta yang enggan untuk menyerah. Marilah mensinkronkan hati dengan realita yang terjadi. Ada dimana kemungkinan itu bisa menjadi nyata, ada juga dimana kita harus melupakannya saat hujan kembali reda.
Beginilah hujan. Datang penuh persangka. Pergi menyisahkan luka. Sudahlah jangan terus berputus asa. Tak perlu lagi menyalahkan hujan dan rasa. Kau sendiri yang kurang berhati-hati dalam jatuh hati. Lain kali, carilah hati yang belum terisi agar kau lebih nyaman untuk menempati.
Δ
Comments
Post a Comment